2010/06/05

Perginya "Sang Wali" Terakhir

Karya; Nezar Patria

VIVAnews--DARI apartemennya lelaki itu mengirimkan selembar surat. Di luar, salju membungkus Norsborg, satu pojok di kota Stockholm, Swedia. Di mesin faksimili, sehimpunan abjad itu di kertas berlari menerabas jarak, lalu tercetak pada mesin lain di meja Carmel Budiarjo, sahabatnya di London.

Hari itu 27 November 1995. Di Norsborg, dingin begitu menusuk. Lelaki itu adalah Teungku Hasan Tiro, pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dikejar tentara rezim orde baru, dia terpaksa bermukim di Swedia. Hampir setahun itu namanya tak terdengar. Dia absen di depan umum. Surat-surat kepadanya pun tak berbalas. Dia, seperti diakuinya dalam surat kepada Carmel, baru pulih dari sakit berat.


“You have not heard from me earlier because I had been so sick from the beginning of this year and had spent months in a hospital’s bed intensive care suffering incredible pains,” tulisnya. Surat itu dibuka dengan ucapan selamat bagi Carmel yang pada tahun itu menerima penghargaan Right To Live Award. Carmel adalah pejuang nasib tahanan politik orde baru, terutama para korban G30S 1965.

Di Jakarta, rezim Suharto mengabarkan Hasan Tiro telah meninggal. Pada tahun itu, 1995, enam tahun sudah Aceh dicengkeram operasi militer. Kelak kita mengingatnya sebagai masa berdarah di Tanah Rencong. Setelah kejatuhan Soeharto tiga tahun kemudian, pelbagai kisah tragis orang-orang Aceh yang ditangkap, disiksa dan dibunuh terkuak ke pentas dunia. Kemarahan meletup, dan Aceh nyaris bercerai dari republik.

Hasan Tiro memang sakit berat. Dia menulis surat itu dalam keadaan menjelang pulih, dan waktu baginya terasa lambat. “Sakit yang serius,” tulis Hasan, “adalah seperti kematian yang mendadak”. Kepada Carmel dia mengatakan sudah empat kali dikabarkan “mati” oleh rezim orde baru sejak dia mendirikan GAM pada 1976. Terakhir, di tengah sakit beratnya itu, Jakarta mengumumkan kematian Hasan pada Juni 1995.

Sakit serius adalah seperti kematian mendadak.

Tapi Hasan tak ingin terlihat sakit. Tak seorang pengikutnya di Aceh tahu bagaimana kondisinya setelah terkena stroke. Dia hidup tersembunyi di apartemen yang senyap di Norsborg. Dia sakit, tapi kematian sesungguhnya telah lama menjadi hal karib. Ada saat maut begitu dekat, tatkala pesawatnya nyaris celaka di celah gurun dan gunung di Amerika.

Bersama rekan bisnisnya, dia pernah terbang dengan jet pribadi berkursi empat. Melewati pucuk Mount Rainer di tenggara Seattle, gunung tertinggi di Washington dengan 14,400 kaki itu, mesin jet mendadak mati. Hasan melayang dengan nasib tak pasti, antara hidup dan mati. Pada saat itu dia berjanji, jika tetap hidup dia akan mengabdikan sisa umurnya bagi Aceh. Pesawat mendarat selamat berkat kepiawaian sang pilot.

Peristiwa itu terjadi pada 4 September 1976, saat dia berusia 46 tahun (satu sumber lain menyebutkan dia berusia 51 saat itu). Pada hari itu juga dia bertekad akan kembali ke Aceh. Selanjutnya kita tahu, seperti ditulisnya dalam catatan hariannya
The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, Hasan kembali ke Aceh pada Oktober 1976.

Dia meninggalkan hidupnya yang mapan sebagai pengusaha di New York. Juga apartemen mewah, dan para rekanan bisnis kelas atas. Dia meninggalkan anaknya Karim Tiro, yang masih enam tahun kala itu, dan istrinya Dora, seorang perempuan warga Amerika.

Lalu, mengapa dia melihat Indonesia dengan penuh kebencian?

Pembangkang

Mungkin Hasan Tiro adalah wakil terakhir dari zaman gelisah saat republik mencari dasar “kehidupan bersama” dari negara-bangsa yang kita sebut Indonesia. Lahir di Kembang Tanjong, Lameulhoe, Pidie pada 1930 (versi lain menyebut 1925), pada usia 19 tahun, dia mengalami momen kritis dari revolusi Indonesia. Saat itu republik masih muda, dan terdesak oleh hasrat Belanda mencaplok kembali nusantara lewat Konferensi Meja Bundar.

Hasan pernah bergabung dengan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Kembang Tanjong. Pada saat republik dalam keadaan kritis, dia memutuskan membantu Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara, yang datang dari Yogyakarta ke Aceh. Syafruddin mempersiapkan pemerintahan darurat di Kutaradja (Banda Aceh) sekiranya diplomasi gagal di Belanda. Ini mungkin dedikasi Hasan terakhir bagi republik. Pada 1950 dia mendapat beasiswa Colombo Plan untuk belajar ke Amerika Serikat. Hasan lalu belajar ekonomi, politik dan hukum di Universitas Columbia.

Pada 1953, Aceh diguncang pemberontakan Darul Islam. Dipimpin Teungku Daud Beureueh, Aceh melawan Jakarta, karena Soekarno dianggap ingkar janji. Sambil sekolah, Hasan saat itu bekerja sebagai staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia untuk PBB, New York. Pembantaian rakyat Aceh oleh tentara republik di Pulot dan Cot Jeumpa, Aceh Besar pada 1954, membuat dia berang.

Dia mengirimkan surat protes kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo, pada September 1954. Hasan menuding Ali menjalankan “percobaan genosida” bagi rakyat Aceh. Ali Sastroamidjoyo marah, dan meminta Hasan Tiro pulang. Tapi Hasan menolak, dan dia malah menyatakan diri sebagai Duta Besar DaruI Islam di New York. Walhasil, paspor Hasan Tiro dicabut. Sejak itu, Hasan hidup sebagai pembangkang.

Sejak itu kita tahu dia menjadi pengkritik keras Soekarno. Pada 1958, Hasan menulis buku penting di New York berjudul Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno. Dia mengkritik pedas sistem negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar Jawa, dan cuma mendukung apa yang disebutnya “demokrasi primitif.”

Sebetulnya, kalau dibaca lebih cermat, Demokrasi untuk Indonesia lebih dari sekadar risalah federalisme. Di sana, gagasannya soal nasionalisme Aceh mulai ditebar, dengan menolak konsep tunggal “nasionalisme” dalam negara beretnis plural. Watak nasionalisme, menurut dia, adalah agresif dan akan berbahaya jika berada di tangan satu etnis besar. Bagi Hasan, apa yang terjadi di Pulot-Cot Jeumpa adalah pukulan telak menguak watak nasionalisme Indonesia masa itu.

Hasan lalu melompat ke ide lebih radikal. Mungkin karena Darul Islam kalah, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnya Masa Depan Politik Dunia Melayu menolak ide Republik Indonesia. Kata Hasan, Indonesia tak lain dari proyek “kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang kolonial Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir.

Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain, Atjeh Bak Mata Donja (Aceh di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan republik.

Hasan mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan Belanda. Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat.

Barangkali kita mengingat apa yang ditulis George L. Mosses dalam
The Fallen Soldier. Ada “mitos pengalaman perang”—suatu upaya mencari makna perang di masa lalu sebagai peristiwa keramat. Mitos bahkan menggantikan realitas perang itu sendiri. Mitos ini dikaji Mosses sejak Perang Napoleon hingga Perang Dunia Pertama dan Kedua. Dia, kata Mosses, adalah tema utama kontinuitas sejarah suatu bangsa. Pada mitos itu, kenangan akan pahlawan yang gugur dapat mengilhami suatu pemberontakan nasional.

Dan Hasan Tiro berhasil. Dia, dengan sangat intens, menggali setiap momen sejarah. Yang dicarinya adalah kesadaran baru orang Aceh bahwa mereka bangsa berdaulat. Pada 1976, ketika dia kembali ke Aceh, dia merekrut sejumlah intelektual muda, dan juga pengusaha. Sebutlah Husaini Hasan dan Zaini Abdullah, dua dokter di Universitas Sumatera Utara. Atau Mochtar Hasbi, dokter lulusan universitas di Thailand. Mereka, kata Husaini Hasan, telah lama melakukan kontak dengan Beureu’eh, sebelum Hasan datang. Sejumlah bekas pengikut Beureu’eh juga bergabung dengan Hasan.

Wali Nanggroe

Tapi apakah yang membuat Hasan Tiro begitu militan? Tafsirnya tentang sajarah Aceh membuat dia seperti “dirasuki” oleh tugas sejarah. Hasan adalah cicit dari pahlawan besar Aceh Teungku Chik di Tiro. Hampir seluruh lelaki di keluarga pejuang ini tamat dalam perang melawan Belanda. Sebagai penerusnya, Hasan memikul kewajiban memelihara kesadaran politik rakyat Aceh.

Dalam tafsir Hasan, peran “keluarga Tiro” sangat penting. Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman mewarisi mandat dari Sultan Mahmud Syah. Sang sultan mangkat pada 1874, dan untuk menjalankan kedaulatan Aceh Teungku Chik di Tiro diangkat sebagai Wali Nanggroe (Wali Negeri), sampai sultan berikutnya muncul. “Keluarga Tiro” menjunjung mandat ini setelah pemimpin Tiro terakhir Teungku Maat di Tiro gugur dalam pertempuran Alue Bhot, Pidie, tanggal 3 Desember 1911. Lalu Hasan Tiro menampilkan diri sebagai penyambung arus heroik sejarah ini, dan menggagas Aceh Merdeka.

Tentu kita menyaksikan bagaimana hasrat pribadi ini kelak diolah menjadi kesadaran politik yang masif. Antropolog James T Siegel dalam epilognya dari karya klasik tentang pergolakan Aceh
The Rope of God, menyebut keterlibatan Hasan sebagai “urusan pribadi” berubah politik karena “dirasuki” pemahamannya sendiri tentang sejarah Aceh. Dia merasa terpanggil mewujudkan kembali “Negara Penerus”. Dia adalah penerus sah itu, tahta Wali Nanggroe, setelah “keluarga di Tiro” terakhir tamat dalam pertempuran melawan Belanda.

Argumen Hasan ini, mungkin kontroversial bagi sejarah Aceh sepanjang periode bergolak 1945-1949. Bagi Indonesia, ada banyak bukti historis lain. Misalnya, pada Oktober 1945 rakyat Aceh, tua maupun muda, mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setidaknya, sejarah mencatat, empat pemimpin ulama reformis Aceh, termasuk Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, setuju bergabung dengan Sukarno, karena “kelanjutan perjuangan terdahulu di Aceh yang dipimpin Teungku Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan nasional lainnya.”

Sejarah versi Indonesia inilah digugat Hasan. Dia yakin, apa pun yang terjadi sejarah Aceh berjalan mencong sebelum kelahiran GAM. “Negara Penerus” tampaknya menjadi strategi teoretis melawan dua hal. Pertama, secara eksternal, menafikan soal integrasi nasional dengan Republik Indonesia. Kedua, secara internal, menyorongkan alternatif dari pemberontakan Darul Islam yang gagal.

Kamp militer di Libya

Hasan paham, Aceh tak mudah diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya cara adalah mencari pengakuan internasional, dan berjuang dengan tema hak menentukan nasib sendiri. Hasan melakukan lobi internasional, dan terus berkampanye tentang “dekolonisasi” Indonesia. Pada masa 1980-1990an, dia bergandengan dengan gerakan separatis lain, seperti Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS).

Pada 1980an, ketika gerakannya dipukul secara militer, Hasan membangun kembali gerakan bersenjatanya di luar Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer. Dia, seperti kesaksian para serdadunya, mengawal setiap prosesi latihan. Seorang bekas serdadu bercerita: “Wali duduk di tenda kami, dengan diterangi lampu minyak. Dia menulis, membaca, dan memberi ceramah. Setelah latihan militer, kami belajar sejarah Aceh”. Para pengikutnya kerap memanggilnya “Wali”.

Selama empat tahun kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak hanya ketrampilan militer, tapi juga dan ideologi keacehan. Selama di Libya, Hasan terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama tahun-tahun itu dia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu organisasi revolusioner berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan pemimpin Libya Muamar Khadafi, untuk suatu proyek melawan hegemoni Amerika. Dalam bahasa politik, inilah front menentang imperialisme, rasisme, zionisme dan fasisme.

Pada April 1986, Amerika Serikat melancarkan Operasi El Dorado Canyon menyerang Tripoli dan Benghazi. Hasan berpidato dalam Konferensi Dunia Gerakan Pembebasan, dan meminta para anggota organisasi itu membela Libya, dan menjadi syahid. Dia mengatakan, “Libya diancam dengan perang tidak sah, oleh AS dan sekutu Zionisnya, Israel, karena berani membela hak menentukan nasib sendiri bangsa Palestina. Sekali lagi, dia tak lupa memasukkan argumen kedaulatan Aceh, yang bahkan menjadi inti pidatonya.

Hasan tampaknya tak pernah lelah. Sepanjang satu dekade di era 1990an, kita mencatat dia menghadiri pelbagai pertemuan internasional. Pada masa itu, Aceh dikungkung status Daerah Operasi Militer. Banyak orang Aceh lari ke Malaysia, termasuk serdadu GAM, dan mereka yang dituduh terlibat gerakan itu. Sebagian ditangkap penguasa Malaysia. Di sini lah Hasan Tiro kian kencang berkampanye hak asasi manusia. Pada momen ini pula dia bertemu Carmel Budiarjo, yang turut berkampanye bagi pembebasan pengungsi Aceh yang ditahan di Malaysia.

Dia memang tak berhenti, meskipun yang dikatakannya setiap tahun mirip orasi yang senyap. Sepanjang 1990an itu, sebetulnya Hasan tak lagi mengungkapkan perspektif baru tentang perjuangan. Di berbagai forum, misalnya, pidatonya di UNPO (Organisasi Bangsa-Bangsa Tak Terwakili) pada 1993, dia hanya mengulang “rangkaian logika” yang kerap dibentangnya hampir dua puluh tahun silam.

Ada satu manuver menarik Hasan Tiro, meskipun terkesan agak naïf. Suatu kali dia berkunjung ke Istana Perdamaian di Den Haag. Satu koran harian di Belanda memuat fotonya dengan pena di tangan, berdiri di pintu pagar Istana itu. Hasan ingin meneken perjanjian damai dengan Pemerintah Belanda.

Damai? Sejak 1873, menurut Hasan, Belanda tak pernah menghentikan perangnya kepada Aceh. Tetapi tanggapan Menteri Luar Negeri Belanda mengecewakan. Sang menteri berkata, “Masalah Aceh sudah selesai dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1949.”

Tapi Hasan tetap berjalan dengan keyakinan politiknya. Sampai kemudian pada 1995 itu dia terserang stroke lagi, dan terbaring lama di ranjang. Tapi “kesadaran politik” yang disuntikkannya berkembang hebat di Aceh. Mereka yang dilatih di Libya pulang, dan membangun unit-unit gerilya pada akhir 1989. Untuk sesaat kekuatan itu sempat bungkam oleh operasi militer yang kejam. Aceh menjadi kubangan darah, tanpa teriakan.

Kelak kita tahu, setelah Suharto jatuh, semua bara terpendam itu meledak kembali. Bendera Aceh Merdeka berkibar di kampung-kampung. Di tengah ketidakjelasan reformasi, dan juga buramnya solusi bagi kekejaman orde baru di Aceh, gambar Hasan Tiro kembali muncul. Orang-orang kembali mengelukan sang Wali. Lalu, drama sejak zaman Sukarno diputar ulang, ironisnya justru pada masa reformasi: Jakarta menumpas pergolakan itu dengan kejamnya. Aceh kembali bersimbah darah. Tapi sang Wali kian mendapat tempat di hati rakyat.

Perdamaian

Dalam putaran perang, dan jatuh bangunnya dialog GAM dan pemerintah RI, Hasan Tiro tetap berada di Swedia. Para pengikut setianya bertahan di hutan, sampai akhirnya maha bencana tsunami menghancurkan Aceh. Hasan, seperti kata Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, setuju Aceh berdamai dengan republik. Kita melihat bagaimana episode pergolakan ini selesai di meja perundingan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Pada masa senja itu pula, tiga tahun setelah Aceh damai, Hasan Tiro kembali ke kampung halamannya. Sejak Oktober 2008 dia pulang, dan lalu berdiam di Banda Aceh. Dia disambut seperti seorang imam, yang lama tak pulang. Orang-orang mencium tangannya, dan menangis di kakinya.

Tapi ada kesadaran baru pula yang muncul: rakyat Aceh tak menemukan sosok Hasan Tiro sebagai mitos. Mereka sadar bertemu seorang tua, dengan mata yang tak lagi tajam. Dalam pidatonya di satu lapangan di Lhokseumawe, Aceh Utara, sang Wali hanya mampu mengucapkan salam. Dia tak bisa lagi banyak bicara, meskipun dia ingin.

Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro kembali terbaring sakit. Jantung, dan komplikasi organ dalam, memaksanya berdiam di Rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Tekanan darahnya 70-40. Dia membenci sakit. Tapi kali ini dia tak lagi bisa menulis surat. Tak ada faksimili, dan tanpa salju seperti di Norsborg.

Sakit yang serius adalah kematian yang mendadak.

Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap. “Sang Wali” terakhir itu akhirnya pergi.

.Vivanews

www.vivanews.com
http://nasional.vivanews.com/news/read/155619-perginya__sang_wali__terakhir
Dipublikasikan : Jum'at, 4 Juni 2010, 20:21 WIB
©VIVAnews.com

2008/09/13

Basuhkan Cinta kepada Siswa


by . Tabrani Yunis.

Sebagian guru sering mengeluhkan tentang kelakuan atau perangai anak didik yang konon sudah sangat sulit diatur. Kata mereka, anak-anak malas belajar, suka bolos, tidak mau memperhatikan guru saat menerangkan pelajaran, suka mengganggu teman dan sebagainya.

Inilah sejumlah tuduhan yang dialamatkan kepada anak dan masih banyak penilaian negatif lainnya yang mungkin terdidentifikasi bila kita suatu saat berdiskusi dengan guru.

Keluhan guru terhadap anak, cendrung meletakan kesalahannya kepada naka. Benar dan bisakah bila hanya anak didik yang disalahkan? Mungkin bisa, tetapi alangkah arif bila guru mau padadiri sendiri, misalnya, apakah cara guru mengajar sudah baik dan menarik?

Sudah cukup kreatifkah pembelajaran yang disajikan guru?. Pertanyaan ini sangat jarang hadir dalam diri guru. Apalagi di kalangan guru yang yang kapasitasnya rendah.

Tentu sangat tidak adil dan ironis, bila guru hanya melihat kesalahan para peserta didik saja. Padahal, munculnya perangai dan tingkah laku yang dikatakan menyimpang tersebut bukan hanya disebabkan oleh satu factor yakni anak saja, tetapi ada factor-faktor lain yang bersumber dari guru. Seharusnya guru bisa mengidentifikasi factor-faktor penyebabnya, baik internal, maupun eksternal.

Kelas Tanpa Cinta

Kiranya, bila kita mau melihat ke dalam kelas saat ini, banyak factor yang menyebabkan perubahan tingkah laku atau perangai para siswa seperti disebutkan di atas. Salah satu penyebabnya adalah guru. Kesalahan guru adalah karena guru tidak mampu menghadirkan rasa suka bagi peserta didik untuk belajar. Guru banyak yang tidak mampu membangun motivasi anak untuk belajar.

Pertanyaanya, bagaimana anak-anak termotivasi , kalau cara guru mengajar tidak menarik dan sangat monoton? Tentu sangat membosankan, bukan? Jangankan anak didik, guru sendiri juga tidak tertarik mengikuti sebuah proses pembelajaran kalau proses tersebut tidak menarik.

Jujur saja, bila kita melongok ke dalam kelas, barangkali kita bisa menyaksikan betapa gersang dan membosankan kelas kita. Suasana kelas tampak tidak ada keteduhan, tidak ada keindahan karena di sudut ruang itu tidak ada cinta. Bisa dibayangkan, sebuah kelas yang kering akan nuansa cinta atau tanpa cinta sangat tidak menarik. Menjadi sangat monoton.

Yang ada hanya rutinitas pembelajaran klasik dan monoton. Nah, Kalau ini realitasnya, siapa yang tidak bosan? Oleh sebab itu, kala, peserta didik tidak termotivasi, intrinsik maupun ekstrinsik, akibatnya pencapaian target sebuah pembelajaran akan sulit diharapkan. Maka, guru perlu mengahdirkan cinta di ruang kelas agar anak-anak bisa betah di kelas.

Menumbuhkan cinta

Bagaimanakah guru bisa menghadirkan cinta di ruang kelas? Sulitkah? Mungkin tidak. Asal kita mau, banyak jalannya. Sederhana saja. Tentu saja, sang guru harus memahami makna cinta yang akan dihadirkannya ke ruang kelas itu.

Kiranya, seperti kata orang terdahulu, banyak jalan menuju Makkah. Oleh sebab itu, dalam tulisan yang singkat ini, ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan para guru untuk menghadirkan cinta di ruang kelas. Pertama, seperti kata orang, bahwa cinta itu tumbuh diawali oleh rasa suka. Kalau rasa suka mulai tumbuh, konon,lama-lama berkembang menjadi cinta.

Untuk menumbuhkan rasa suka dan cinta akan sebuah pelajaran, maka pembelajaran itu harus menarik. Pembelajaran yang menarik adalah pembelajaran yang dilakukan secara demokratis, kreatif dan inovatif.

Kedua, cinta bisa berarti saling memahami, saling mengerti. Maka, agar sebuah pembelajaran bisa berjalan dengan penuh cinta, maka seorang guru, idealnya memahami dan mengerti benar dengan peserta didik yang diajarkannya.

Ketiga, kata para pujangga, yang namanya cinta adalah saling berbagi (sharing each other). Ini berarti, bahwa sebenarnya guru bukanlah segalanya, yang selalu menggurui, tetapi cukup sebagai fasilitator saja. Untuk itu, Guru harus sadar bahwa di dalam diri peserta didik, ada potensi.

Tinggal dipancing saja, lalu kemudian dikembangkan. Apa yang harus dilakukan oleh guru adalah memancing dan mengembangankan potensi yang ada dalam diri peserta didik secara maksimal.

Keempat, dalam cinta, ada yang namanya saling menghargai. Guru harus menghindari agar peserta didik tidak malu dalam sebuah proses pembelajaran. Tentu saja, masih banyak lagi hal yang perlu dilakukan guru untuk menghadirkan cinta di ruang kelas. Misalnya, seorang guru harus mampu memahami masalah atau realitas ruang kelas.

Agar cinta juga tumbuh dan bersemi di ruang kelas, ada hal yang perlu dilakukan pertama sekali saat memulai pelajaran di awal semester oleh seorang guru adalah membangun konsensus bersama. Membuat kontrak belajar secara bersama, setalah melalui sebuah proses identifikasi masalah yang dilakukan secara partisipatif.

Guru bersama siswa saling menggali masalah apa saja yang ada di dalam ruang kelas yang membuat sebuah pembelajaran menjadi gagal atau tidak berhasil. Setelah masalah-masalah itu ditemukan dan dibuat dalam sebuah list, maka langkah selanjutnya adalah mencoba menganalisis bersama terhadap masalah-masalah yang muncul atau yang diekspresikan oleh para peserta didik.

Tatkala mereka menyadari begitu masalah yang mereka hadapi dan mereka telah menganalisisnya secara bersama, maka sejumlah kondisi buruk yang ditemukan di ruang kelas itu, kemudian guru bisa bertanya kepada peserta didik apa yang harus diperbaiki dan harus dilakukan agar kondisi belajar lebih menarik dan kreatif.

Di sini siswa diajak menuju masa depan yang diidamkan. Bisa satu tahun ke depan, bisa dua tahun atau tiga tahun ke depan. Artinya, guru bersama peserta didik membuat visi bersama yang harus dicapai.

Kalau mereka sudah memiliki visi dan misi yang demikian, maka sang guru bisa menyusun rencana strategis selama satu semester atau dua semester dengan menganalisis kebutuhan sumber daya serta strategi untuk mencapai visi, misi dan tujuan yang sudah dibangun bersama.

Bila hal ini sudah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah menjaga cinta itu tetap menyala. Di sinilah mungkin, sosok guru seperti Ryan Reynold atau David Paymer yang digambarkan sebagai guru kreatif dalam film School of Life, diperlukan. Sosok guru yang kritis, kreatif dan inovatif adalah sosok guru yang bisa menghadirkan cinta di ruang kelas.

Begitu mudah sebenarnya bagi guru untuk menghadirkan cinta di ruang kelas. Menghadirkan cinta di ruang kelas adalah sesuatu yang sangat penting. Kata orang,kalau cinta sudah melekat, apapun yang kita suruh, peserta didik akan lalukan. Bahkan peserta didik akan belajar sendiri tanpa harus disuruh dan dipaksa.

Kelas semakin indah bila guru mau membumbui pembelajarannya dengan permainan dan diiringi dengan sikap humoris, berpikiran terbuka, kreatif, inovatif dan yang lain-lain.

Kalau hal-hal semacam ini dimiliki oleh guru, maka jangan pernah takut kalau para peserta didik akan membawa nama guru menjadi popular, karena guru yang seperti ini sering menjadi guru favorit di sebuah sekolah, tanpa harus ada legitimasi sebagai guru berprestasi atau predikat guru teladan. Selamat mencobanya Pasti sukses. Semoga saja.

Penulis Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh

the journalist refers to scooters



the journalist refers to scooters as "miniature motorcycles".

Ike makes landfall in Galveston, Texas

Widespread flooding, power outages reported

Last Updated: Saturday, September 13, 2008 | 9:18 AM ET CBC News

Stretching 965 kilometres in width, the storm made landfall at the island city of Galveston at 2:10 a.m. local time, the U.S. National Hurricane Center said.

Thousands of homes were flooded and roads were washed out, according to emergency officials. Nearly three million people have lost power to their homes.

Forecasters predicted the Category 2 hurricane's storm surge waves could reach up to seven metres high on the coast.

In Galveston, tens of thousands of residents decided to not evacuate the area, city manager Steven LeBlanc said. Nearly 100 per cent of the population left ahead of Hurricane Rita three years ago.

Fire crews rescued about 300 people who tried to flee the island at the last minute. They were found walking through flooded streets late Friday.

The hurricane drove a wall of water over Galveston and submerged a five-metre seawall built more than 100 years ago to protect the city.

About 80 kilometres inland, Ike also battered downtown Houston, shattering windows of several skyscrapers that house some of the world's largest energy companies.

Around 8 a.m. local time Saturday, Ike weakened to a Category 1 storm as it moved inland, 30 kilometres south-southeast of Huntsville, Texas. Its maximum winds slowed to 144 km/h.

The storm has idled more than a fifth of U.S. oil production. Some 4,000 offshore oil rigs dot the Gulf Coast.

U.S. President George W. Bush said his government intends to monitor gasoline prices to make sure there is no price gouging.

Bush said his administration has also suspended Environmental Protection Agency waivers on some reformulated gasoline to make it easier for foreign imports to reach the U.S. market.

"The storm has yet to pass and I know there are people concerned about their lives," Bush said in remarks from the south lawn of the White House after he participated in video conference with Homeland Security Secretary Michael Chertoff and David Paulison, head of the Federal Emergency Management Agency.

With files from the Associated Press


2008/05/15

Ahtisaari Puji Proses Damai di Aceh



Senin, 5 Mei 2008, 23:12 WIB

report by dara, sumber Acehkita.Com


Banda Aceh, acehkita.com. Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, mengaku bangga melihat perjalanan proses damai di Aceh. Menurutnya hal ini tidak mudah dicapai dalam waktu yang amat singkat, tapi untuk Aceh semua telah berjalan baik.
Hal ini dikatakan Ahtisaari, saat melakukan kunjungannya ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Di hadapan sejumlah wartawan, dia menyebutkan, baru saja melakukan kunjungan ke beberapa daerah bagian tenggara dan tengah Aceh. “Saya berharap bisa mengunjungi daerah lainya di Aceh, ketika saya kembali tahun depan. Suasananya sangat menyenangkan,” ujarnya. Ahtisaari juga menjelaskan, bahwa kunjungannya ke Aceh kali ini untuk menyaksikan secara langsung berbagai perkembangan yang terjadi di Aceh seiring dengan berjalannya proses damai di Aceh. ”Saya yakin ini akan terus berjalan baik, saya juga bangga melihat perkembangan yang baik ini dalam waktu yang sangat singkat,” katanya. Terkait dengan kasus Atu Lintang, yang sempat mengejutkan banyak pihak, Ahtisaari mengatakan, untuk waktu yang sangat singkat ini beberapa insiden memang biasa terjadi. ”Dan saya melihat ini sudah ditangani dengan baik oleh petugas penegak hukum dan dengan aturan hukum.” Sementara itu dalam dialognya dengan anggota dewan Aceh, sejumlah anggota Dewan mempertanyakan beberapa hal yang masih belum berjalan tuntas terkait dengan kesepakatan MoU Helsinki. Salah satu anggota komisi A DPRA, Bachrum Rasyid mempertanyakan tentang keberadaan sembilan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang dilaporkan hingga kini masih berada dalam bui. ”Mereka ini memang terbukti terlibat dalam kasus politik, dan mengapa mereka belum mendapat amnesti? Bukankah ini tidak sesuai dengan isi MoU,” ungkap Bachrum di hadapan forum. Ahtisaari menjelaskan masalah amnesti merupakan hal yang rumit, dan kondisi ini bukan hanya terjadi Indonesia. ”Untuk negara yang mengalami hal yang sama, juga terjadi hal yang serupa dan mereka membutuhkan waktu yang panjang,” Jelas pimpinan Crisis Management Insiatif (CMI) ini. "Untuk ini akan ada jalan lain, mungkin ada solusi lain bukan dalam bentuk amnesti," jawabnya. Selain bertemu dengan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan anggota DPRA, Ahtisaari juga dijadwalkan berkunjung ke Mapolda Aceh dan markas Kodam Iskandar Muda. [adw]

2008/05/10

Semenanjung Malaysia

Semenanjung Malaysia atau dahulunya dikenali sebagai Tanah Melayu merupakan salah satu bahagian daripada Persekutuan Malaysia. Semenanjung Malaysia terdiri daripada 11 buah negeri dan Wilayah Persekutuan yang terdiri daripada Pulau Labuan, Kuala Lumpur, dan Putrajaya. Negeri negeri tersebut ialah Kelantan, Terengganu, Pahang, Johor, Melaka, Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Kedah, Pulau Pinang dan Perlis.

Semenanjung Malaysia bersempadanan dengan
Thailand di bahagian utara dan Singapura di selatan. Manakala di sebelah baratnya, merentasi Selat Melaka ialah pulau Sumatra, Indonesia. Malaysia Timur terletak di sebelah timur Semenanjung Malaysia merentasi Laut China Selatan.
Kesemua negeri di Tanah Melayu diketuai oleh sultan atau raja kecuali
Wilayah Persekutuan, Melaka dan Pulau Pinang.

http://ms.wikipedia.org/wiki/Semenanjung_Melayu

Negeri itu Beraroma Aceh

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.

Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri.
Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Pada
abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang
Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.

Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan
Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah Kolera. Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Dawud Syah ditabalkan sebagai Sultan di Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada tahun 1903 setelah dua Isterinya, anak serta Ibondanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernor.




source : http://ms.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Aceh