2008/05/15

Ahtisaari Puji Proses Damai di Aceh



Senin, 5 Mei 2008, 23:12 WIB

report by dara, sumber Acehkita.Com


Banda Aceh, acehkita.com. Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, mengaku bangga melihat perjalanan proses damai di Aceh. Menurutnya hal ini tidak mudah dicapai dalam waktu yang amat singkat, tapi untuk Aceh semua telah berjalan baik.
Hal ini dikatakan Ahtisaari, saat melakukan kunjungannya ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Di hadapan sejumlah wartawan, dia menyebutkan, baru saja melakukan kunjungan ke beberapa daerah bagian tenggara dan tengah Aceh. “Saya berharap bisa mengunjungi daerah lainya di Aceh, ketika saya kembali tahun depan. Suasananya sangat menyenangkan,” ujarnya. Ahtisaari juga menjelaskan, bahwa kunjungannya ke Aceh kali ini untuk menyaksikan secara langsung berbagai perkembangan yang terjadi di Aceh seiring dengan berjalannya proses damai di Aceh. ”Saya yakin ini akan terus berjalan baik, saya juga bangga melihat perkembangan yang baik ini dalam waktu yang sangat singkat,” katanya. Terkait dengan kasus Atu Lintang, yang sempat mengejutkan banyak pihak, Ahtisaari mengatakan, untuk waktu yang sangat singkat ini beberapa insiden memang biasa terjadi. ”Dan saya melihat ini sudah ditangani dengan baik oleh petugas penegak hukum dan dengan aturan hukum.” Sementara itu dalam dialognya dengan anggota dewan Aceh, sejumlah anggota Dewan mempertanyakan beberapa hal yang masih belum berjalan tuntas terkait dengan kesepakatan MoU Helsinki. Salah satu anggota komisi A DPRA, Bachrum Rasyid mempertanyakan tentang keberadaan sembilan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang dilaporkan hingga kini masih berada dalam bui. ”Mereka ini memang terbukti terlibat dalam kasus politik, dan mengapa mereka belum mendapat amnesti? Bukankah ini tidak sesuai dengan isi MoU,” ungkap Bachrum di hadapan forum. Ahtisaari menjelaskan masalah amnesti merupakan hal yang rumit, dan kondisi ini bukan hanya terjadi Indonesia. ”Untuk negara yang mengalami hal yang sama, juga terjadi hal yang serupa dan mereka membutuhkan waktu yang panjang,” Jelas pimpinan Crisis Management Insiatif (CMI) ini. "Untuk ini akan ada jalan lain, mungkin ada solusi lain bukan dalam bentuk amnesti," jawabnya. Selain bertemu dengan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan anggota DPRA, Ahtisaari juga dijadwalkan berkunjung ke Mapolda Aceh dan markas Kodam Iskandar Muda. [adw]

2008/05/10

Semenanjung Malaysia

Semenanjung Malaysia atau dahulunya dikenali sebagai Tanah Melayu merupakan salah satu bahagian daripada Persekutuan Malaysia. Semenanjung Malaysia terdiri daripada 11 buah negeri dan Wilayah Persekutuan yang terdiri daripada Pulau Labuan, Kuala Lumpur, dan Putrajaya. Negeri negeri tersebut ialah Kelantan, Terengganu, Pahang, Johor, Melaka, Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Kedah, Pulau Pinang dan Perlis.

Semenanjung Malaysia bersempadanan dengan
Thailand di bahagian utara dan Singapura di selatan. Manakala di sebelah baratnya, merentasi Selat Melaka ialah pulau Sumatra, Indonesia. Malaysia Timur terletak di sebelah timur Semenanjung Malaysia merentasi Laut China Selatan.
Kesemua negeri di Tanah Melayu diketuai oleh sultan atau raja kecuali
Wilayah Persekutuan, Melaka dan Pulau Pinang.

http://ms.wikipedia.org/wiki/Semenanjung_Melayu

Negeri itu Beraroma Aceh

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.

Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri.
Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Pada
abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang
Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.

Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan
Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah Kolera. Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Dawud Syah ditabalkan sebagai Sultan di Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada tahun 1903 setelah dua Isterinya, anak serta Ibondanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernor.




source : http://ms.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Aceh