2010/06/05

Perginya "Sang Wali" Terakhir

Karya; Nezar Patria

VIVAnews--DARI apartemennya lelaki itu mengirimkan selembar surat. Di luar, salju membungkus Norsborg, satu pojok di kota Stockholm, Swedia. Di mesin faksimili, sehimpunan abjad itu di kertas berlari menerabas jarak, lalu tercetak pada mesin lain di meja Carmel Budiarjo, sahabatnya di London.

Hari itu 27 November 1995. Di Norsborg, dingin begitu menusuk. Lelaki itu adalah Teungku Hasan Tiro, pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dikejar tentara rezim orde baru, dia terpaksa bermukim di Swedia. Hampir setahun itu namanya tak terdengar. Dia absen di depan umum. Surat-surat kepadanya pun tak berbalas. Dia, seperti diakuinya dalam surat kepada Carmel, baru pulih dari sakit berat.


“You have not heard from me earlier because I had been so sick from the beginning of this year and had spent months in a hospital’s bed intensive care suffering incredible pains,” tulisnya. Surat itu dibuka dengan ucapan selamat bagi Carmel yang pada tahun itu menerima penghargaan Right To Live Award. Carmel adalah pejuang nasib tahanan politik orde baru, terutama para korban G30S 1965.

Di Jakarta, rezim Suharto mengabarkan Hasan Tiro telah meninggal. Pada tahun itu, 1995, enam tahun sudah Aceh dicengkeram operasi militer. Kelak kita mengingatnya sebagai masa berdarah di Tanah Rencong. Setelah kejatuhan Soeharto tiga tahun kemudian, pelbagai kisah tragis orang-orang Aceh yang ditangkap, disiksa dan dibunuh terkuak ke pentas dunia. Kemarahan meletup, dan Aceh nyaris bercerai dari republik.

Hasan Tiro memang sakit berat. Dia menulis surat itu dalam keadaan menjelang pulih, dan waktu baginya terasa lambat. “Sakit yang serius,” tulis Hasan, “adalah seperti kematian yang mendadak”. Kepada Carmel dia mengatakan sudah empat kali dikabarkan “mati” oleh rezim orde baru sejak dia mendirikan GAM pada 1976. Terakhir, di tengah sakit beratnya itu, Jakarta mengumumkan kematian Hasan pada Juni 1995.

Sakit serius adalah seperti kematian mendadak.

Tapi Hasan tak ingin terlihat sakit. Tak seorang pengikutnya di Aceh tahu bagaimana kondisinya setelah terkena stroke. Dia hidup tersembunyi di apartemen yang senyap di Norsborg. Dia sakit, tapi kematian sesungguhnya telah lama menjadi hal karib. Ada saat maut begitu dekat, tatkala pesawatnya nyaris celaka di celah gurun dan gunung di Amerika.

Bersama rekan bisnisnya, dia pernah terbang dengan jet pribadi berkursi empat. Melewati pucuk Mount Rainer di tenggara Seattle, gunung tertinggi di Washington dengan 14,400 kaki itu, mesin jet mendadak mati. Hasan melayang dengan nasib tak pasti, antara hidup dan mati. Pada saat itu dia berjanji, jika tetap hidup dia akan mengabdikan sisa umurnya bagi Aceh. Pesawat mendarat selamat berkat kepiawaian sang pilot.

Peristiwa itu terjadi pada 4 September 1976, saat dia berusia 46 tahun (satu sumber lain menyebutkan dia berusia 51 saat itu). Pada hari itu juga dia bertekad akan kembali ke Aceh. Selanjutnya kita tahu, seperti ditulisnya dalam catatan hariannya
The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, Hasan kembali ke Aceh pada Oktober 1976.

Dia meninggalkan hidupnya yang mapan sebagai pengusaha di New York. Juga apartemen mewah, dan para rekanan bisnis kelas atas. Dia meninggalkan anaknya Karim Tiro, yang masih enam tahun kala itu, dan istrinya Dora, seorang perempuan warga Amerika.

Lalu, mengapa dia melihat Indonesia dengan penuh kebencian?

Pembangkang

Mungkin Hasan Tiro adalah wakil terakhir dari zaman gelisah saat republik mencari dasar “kehidupan bersama” dari negara-bangsa yang kita sebut Indonesia. Lahir di Kembang Tanjong, Lameulhoe, Pidie pada 1930 (versi lain menyebut 1925), pada usia 19 tahun, dia mengalami momen kritis dari revolusi Indonesia. Saat itu republik masih muda, dan terdesak oleh hasrat Belanda mencaplok kembali nusantara lewat Konferensi Meja Bundar.

Hasan pernah bergabung dengan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Kembang Tanjong. Pada saat republik dalam keadaan kritis, dia memutuskan membantu Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara, yang datang dari Yogyakarta ke Aceh. Syafruddin mempersiapkan pemerintahan darurat di Kutaradja (Banda Aceh) sekiranya diplomasi gagal di Belanda. Ini mungkin dedikasi Hasan terakhir bagi republik. Pada 1950 dia mendapat beasiswa Colombo Plan untuk belajar ke Amerika Serikat. Hasan lalu belajar ekonomi, politik dan hukum di Universitas Columbia.

Pada 1953, Aceh diguncang pemberontakan Darul Islam. Dipimpin Teungku Daud Beureueh, Aceh melawan Jakarta, karena Soekarno dianggap ingkar janji. Sambil sekolah, Hasan saat itu bekerja sebagai staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia untuk PBB, New York. Pembantaian rakyat Aceh oleh tentara republik di Pulot dan Cot Jeumpa, Aceh Besar pada 1954, membuat dia berang.

Dia mengirimkan surat protes kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo, pada September 1954. Hasan menuding Ali menjalankan “percobaan genosida” bagi rakyat Aceh. Ali Sastroamidjoyo marah, dan meminta Hasan Tiro pulang. Tapi Hasan menolak, dan dia malah menyatakan diri sebagai Duta Besar DaruI Islam di New York. Walhasil, paspor Hasan Tiro dicabut. Sejak itu, Hasan hidup sebagai pembangkang.

Sejak itu kita tahu dia menjadi pengkritik keras Soekarno. Pada 1958, Hasan menulis buku penting di New York berjudul Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno. Dia mengkritik pedas sistem negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar Jawa, dan cuma mendukung apa yang disebutnya “demokrasi primitif.”

Sebetulnya, kalau dibaca lebih cermat, Demokrasi untuk Indonesia lebih dari sekadar risalah federalisme. Di sana, gagasannya soal nasionalisme Aceh mulai ditebar, dengan menolak konsep tunggal “nasionalisme” dalam negara beretnis plural. Watak nasionalisme, menurut dia, adalah agresif dan akan berbahaya jika berada di tangan satu etnis besar. Bagi Hasan, apa yang terjadi di Pulot-Cot Jeumpa adalah pukulan telak menguak watak nasionalisme Indonesia masa itu.

Hasan lalu melompat ke ide lebih radikal. Mungkin karena Darul Islam kalah, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnya Masa Depan Politik Dunia Melayu menolak ide Republik Indonesia. Kata Hasan, Indonesia tak lain dari proyek “kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang kolonial Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir.

Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain, Atjeh Bak Mata Donja (Aceh di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan republik.

Hasan mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan Belanda. Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat.

Barangkali kita mengingat apa yang ditulis George L. Mosses dalam
The Fallen Soldier. Ada “mitos pengalaman perang”—suatu upaya mencari makna perang di masa lalu sebagai peristiwa keramat. Mitos bahkan menggantikan realitas perang itu sendiri. Mitos ini dikaji Mosses sejak Perang Napoleon hingga Perang Dunia Pertama dan Kedua. Dia, kata Mosses, adalah tema utama kontinuitas sejarah suatu bangsa. Pada mitos itu, kenangan akan pahlawan yang gugur dapat mengilhami suatu pemberontakan nasional.

Dan Hasan Tiro berhasil. Dia, dengan sangat intens, menggali setiap momen sejarah. Yang dicarinya adalah kesadaran baru orang Aceh bahwa mereka bangsa berdaulat. Pada 1976, ketika dia kembali ke Aceh, dia merekrut sejumlah intelektual muda, dan juga pengusaha. Sebutlah Husaini Hasan dan Zaini Abdullah, dua dokter di Universitas Sumatera Utara. Atau Mochtar Hasbi, dokter lulusan universitas di Thailand. Mereka, kata Husaini Hasan, telah lama melakukan kontak dengan Beureu’eh, sebelum Hasan datang. Sejumlah bekas pengikut Beureu’eh juga bergabung dengan Hasan.

Wali Nanggroe

Tapi apakah yang membuat Hasan Tiro begitu militan? Tafsirnya tentang sajarah Aceh membuat dia seperti “dirasuki” oleh tugas sejarah. Hasan adalah cicit dari pahlawan besar Aceh Teungku Chik di Tiro. Hampir seluruh lelaki di keluarga pejuang ini tamat dalam perang melawan Belanda. Sebagai penerusnya, Hasan memikul kewajiban memelihara kesadaran politik rakyat Aceh.

Dalam tafsir Hasan, peran “keluarga Tiro” sangat penting. Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman mewarisi mandat dari Sultan Mahmud Syah. Sang sultan mangkat pada 1874, dan untuk menjalankan kedaulatan Aceh Teungku Chik di Tiro diangkat sebagai Wali Nanggroe (Wali Negeri), sampai sultan berikutnya muncul. “Keluarga Tiro” menjunjung mandat ini setelah pemimpin Tiro terakhir Teungku Maat di Tiro gugur dalam pertempuran Alue Bhot, Pidie, tanggal 3 Desember 1911. Lalu Hasan Tiro menampilkan diri sebagai penyambung arus heroik sejarah ini, dan menggagas Aceh Merdeka.

Tentu kita menyaksikan bagaimana hasrat pribadi ini kelak diolah menjadi kesadaran politik yang masif. Antropolog James T Siegel dalam epilognya dari karya klasik tentang pergolakan Aceh
The Rope of God, menyebut keterlibatan Hasan sebagai “urusan pribadi” berubah politik karena “dirasuki” pemahamannya sendiri tentang sejarah Aceh. Dia merasa terpanggil mewujudkan kembali “Negara Penerus”. Dia adalah penerus sah itu, tahta Wali Nanggroe, setelah “keluarga di Tiro” terakhir tamat dalam pertempuran melawan Belanda.

Argumen Hasan ini, mungkin kontroversial bagi sejarah Aceh sepanjang periode bergolak 1945-1949. Bagi Indonesia, ada banyak bukti historis lain. Misalnya, pada Oktober 1945 rakyat Aceh, tua maupun muda, mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setidaknya, sejarah mencatat, empat pemimpin ulama reformis Aceh, termasuk Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, setuju bergabung dengan Sukarno, karena “kelanjutan perjuangan terdahulu di Aceh yang dipimpin Teungku Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan nasional lainnya.”

Sejarah versi Indonesia inilah digugat Hasan. Dia yakin, apa pun yang terjadi sejarah Aceh berjalan mencong sebelum kelahiran GAM. “Negara Penerus” tampaknya menjadi strategi teoretis melawan dua hal. Pertama, secara eksternal, menafikan soal integrasi nasional dengan Republik Indonesia. Kedua, secara internal, menyorongkan alternatif dari pemberontakan Darul Islam yang gagal.

Kamp militer di Libya

Hasan paham, Aceh tak mudah diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya cara adalah mencari pengakuan internasional, dan berjuang dengan tema hak menentukan nasib sendiri. Hasan melakukan lobi internasional, dan terus berkampanye tentang “dekolonisasi” Indonesia. Pada masa 1980-1990an, dia bergandengan dengan gerakan separatis lain, seperti Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS).

Pada 1980an, ketika gerakannya dipukul secara militer, Hasan membangun kembali gerakan bersenjatanya di luar Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer. Dia, seperti kesaksian para serdadunya, mengawal setiap prosesi latihan. Seorang bekas serdadu bercerita: “Wali duduk di tenda kami, dengan diterangi lampu minyak. Dia menulis, membaca, dan memberi ceramah. Setelah latihan militer, kami belajar sejarah Aceh”. Para pengikutnya kerap memanggilnya “Wali”.

Selama empat tahun kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak hanya ketrampilan militer, tapi juga dan ideologi keacehan. Selama di Libya, Hasan terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama tahun-tahun itu dia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu organisasi revolusioner berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan pemimpin Libya Muamar Khadafi, untuk suatu proyek melawan hegemoni Amerika. Dalam bahasa politik, inilah front menentang imperialisme, rasisme, zionisme dan fasisme.

Pada April 1986, Amerika Serikat melancarkan Operasi El Dorado Canyon menyerang Tripoli dan Benghazi. Hasan berpidato dalam Konferensi Dunia Gerakan Pembebasan, dan meminta para anggota organisasi itu membela Libya, dan menjadi syahid. Dia mengatakan, “Libya diancam dengan perang tidak sah, oleh AS dan sekutu Zionisnya, Israel, karena berani membela hak menentukan nasib sendiri bangsa Palestina. Sekali lagi, dia tak lupa memasukkan argumen kedaulatan Aceh, yang bahkan menjadi inti pidatonya.

Hasan tampaknya tak pernah lelah. Sepanjang satu dekade di era 1990an, kita mencatat dia menghadiri pelbagai pertemuan internasional. Pada masa itu, Aceh dikungkung status Daerah Operasi Militer. Banyak orang Aceh lari ke Malaysia, termasuk serdadu GAM, dan mereka yang dituduh terlibat gerakan itu. Sebagian ditangkap penguasa Malaysia. Di sini lah Hasan Tiro kian kencang berkampanye hak asasi manusia. Pada momen ini pula dia bertemu Carmel Budiarjo, yang turut berkampanye bagi pembebasan pengungsi Aceh yang ditahan di Malaysia.

Dia memang tak berhenti, meskipun yang dikatakannya setiap tahun mirip orasi yang senyap. Sepanjang 1990an itu, sebetulnya Hasan tak lagi mengungkapkan perspektif baru tentang perjuangan. Di berbagai forum, misalnya, pidatonya di UNPO (Organisasi Bangsa-Bangsa Tak Terwakili) pada 1993, dia hanya mengulang “rangkaian logika” yang kerap dibentangnya hampir dua puluh tahun silam.

Ada satu manuver menarik Hasan Tiro, meskipun terkesan agak naïf. Suatu kali dia berkunjung ke Istana Perdamaian di Den Haag. Satu koran harian di Belanda memuat fotonya dengan pena di tangan, berdiri di pintu pagar Istana itu. Hasan ingin meneken perjanjian damai dengan Pemerintah Belanda.

Damai? Sejak 1873, menurut Hasan, Belanda tak pernah menghentikan perangnya kepada Aceh. Tetapi tanggapan Menteri Luar Negeri Belanda mengecewakan. Sang menteri berkata, “Masalah Aceh sudah selesai dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1949.”

Tapi Hasan tetap berjalan dengan keyakinan politiknya. Sampai kemudian pada 1995 itu dia terserang stroke lagi, dan terbaring lama di ranjang. Tapi “kesadaran politik” yang disuntikkannya berkembang hebat di Aceh. Mereka yang dilatih di Libya pulang, dan membangun unit-unit gerilya pada akhir 1989. Untuk sesaat kekuatan itu sempat bungkam oleh operasi militer yang kejam. Aceh menjadi kubangan darah, tanpa teriakan.

Kelak kita tahu, setelah Suharto jatuh, semua bara terpendam itu meledak kembali. Bendera Aceh Merdeka berkibar di kampung-kampung. Di tengah ketidakjelasan reformasi, dan juga buramnya solusi bagi kekejaman orde baru di Aceh, gambar Hasan Tiro kembali muncul. Orang-orang kembali mengelukan sang Wali. Lalu, drama sejak zaman Sukarno diputar ulang, ironisnya justru pada masa reformasi: Jakarta menumpas pergolakan itu dengan kejamnya. Aceh kembali bersimbah darah. Tapi sang Wali kian mendapat tempat di hati rakyat.

Perdamaian

Dalam putaran perang, dan jatuh bangunnya dialog GAM dan pemerintah RI, Hasan Tiro tetap berada di Swedia. Para pengikut setianya bertahan di hutan, sampai akhirnya maha bencana tsunami menghancurkan Aceh. Hasan, seperti kata Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, setuju Aceh berdamai dengan republik. Kita melihat bagaimana episode pergolakan ini selesai di meja perundingan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Pada masa senja itu pula, tiga tahun setelah Aceh damai, Hasan Tiro kembali ke kampung halamannya. Sejak Oktober 2008 dia pulang, dan lalu berdiam di Banda Aceh. Dia disambut seperti seorang imam, yang lama tak pulang. Orang-orang mencium tangannya, dan menangis di kakinya.

Tapi ada kesadaran baru pula yang muncul: rakyat Aceh tak menemukan sosok Hasan Tiro sebagai mitos. Mereka sadar bertemu seorang tua, dengan mata yang tak lagi tajam. Dalam pidatonya di satu lapangan di Lhokseumawe, Aceh Utara, sang Wali hanya mampu mengucapkan salam. Dia tak bisa lagi banyak bicara, meskipun dia ingin.

Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro kembali terbaring sakit. Jantung, dan komplikasi organ dalam, memaksanya berdiam di Rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Tekanan darahnya 70-40. Dia membenci sakit. Tapi kali ini dia tak lagi bisa menulis surat. Tak ada faksimili, dan tanpa salju seperti di Norsborg.

Sakit yang serius adalah kematian yang mendadak.

Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap. “Sang Wali” terakhir itu akhirnya pergi.

.Vivanews

www.vivanews.com
http://nasional.vivanews.com/news/read/155619-perginya__sang_wali__terakhir
Dipublikasikan : Jum'at, 4 Juni 2010, 20:21 WIB
©VIVAnews.com