by . Tabrani Yunis.
Sebagian guru sering mengeluhkan tentang kelakuan atau perangai anak didik yang konon sudah sangat sulit diatur. Kata mereka, anak-anak malas belajar, suka bolos, tidak mau memperhatikan guru saat menerangkan pelajaran, suka mengganggu teman dan sebagainya.
Inilah sejumlah tuduhan yang dialamatkan kepada anak dan masih banyak penilaian negatif lainnya yang mungkin terdidentifikasi bila kita suatu saat berdiskusi dengan guru.
Keluhan guru terhadap anak, cendrung meletakan kesalahannya kepada naka. Benar dan bisakah bila hanya anak didik yang disalahkan? Mungkin bisa, tetapi alangkah arif bila guru mau padadiri sendiri, misalnya, apakah cara guru mengajar sudah baik dan menarik?
Sudah cukup kreatifkah pembelajaran yang disajikan guru?. Pertanyaan ini sangat jarang hadir dalam diri guru. Apalagi di kalangan guru yang yang kapasitasnya rendah.
Tentu sangat tidak adil dan ironis, bila guru hanya melihat kesalahan para peserta didik saja. Padahal, munculnya perangai dan tingkah laku yang dikatakan menyimpang tersebut bukan hanya disebabkan oleh satu factor yakni anak saja, tetapi ada factor-faktor lain yang bersumber dari guru. Seharusnya guru bisa mengidentifikasi factor-faktor penyebabnya, baik internal, maupun eksternal.
Kelas Tanpa Cinta
Kiranya, bila kita mau melihat ke dalam kelas saat ini, banyak factor yang menyebabkan perubahan tingkah laku atau perangai para siswa seperti disebutkan di atas. Salah satu penyebabnya adalah guru. Kesalahan guru adalah karena guru tidak mampu menghadirkan rasa suka bagi peserta didik untuk belajar. Guru banyak yang tidak mampu membangun motivasi anak untuk belajar.
Pertanyaanya, bagaimana anak-anak termotivasi , kalau cara guru mengajar tidak menarik dan sangat monoton? Tentu sangat membosankan, bukan? Jangankan anak didik, guru sendiri juga tidak tertarik mengikuti sebuah proses pembelajaran kalau proses tersebut tidak menarik.
Jujur saja, bila kita melongok ke dalam kelas, barangkali kita bisa menyaksikan betapa gersang dan membosankan kelas kita. Suasana kelas tampak tidak ada keteduhan, tidak ada keindahan karena di sudut ruang itu tidak ada cinta. Bisa dibayangkan, sebuah kelas yang kering akan nuansa cinta atau tanpa cinta sangat tidak menarik. Menjadi sangat monoton.
Yang ada hanya rutinitas pembelajaran klasik dan monoton. Nah, Kalau ini realitasnya, siapa yang tidak bosan? Oleh sebab itu, kala, peserta didik tidak termotivasi, intrinsik maupun ekstrinsik, akibatnya pencapaian target sebuah pembelajaran akan sulit diharapkan. Maka, guru perlu mengahdirkan cinta di ruang kelas agar anak-anak bisa betah di kelas.
Menumbuhkan cinta
Bagaimanakah guru bisa menghadirkan cinta di ruang kelas? Sulitkah? Mungkin tidak. Asal kita mau, banyak jalannya. Sederhana saja. Tentu saja, sang guru harus memahami makna cinta yang akan dihadirkannya ke ruang kelas itu.
Kiranya, seperti kata orang terdahulu, banyak jalan menuju Makkah. Oleh sebab itu, dalam tulisan yang singkat ini, ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan para guru untuk menghadirkan cinta di ruang kelas. Pertama, seperti kata orang, bahwa cinta itu tumbuh diawali oleh rasa suka. Kalau rasa suka mulai tumbuh, konon,lama-lama berkembang menjadi cinta.
Untuk menumbuhkan rasa suka dan cinta akan sebuah pelajaran, maka pembelajaran itu harus menarik. Pembelajaran yang menarik adalah pembelajaran yang dilakukan secara demokratis, kreatif dan inovatif.
Kedua, cinta bisa berarti saling memahami, saling mengerti. Maka, agar sebuah pembelajaran bisa berjalan dengan penuh cinta, maka seorang guru, idealnya memahami dan mengerti benar dengan peserta didik yang diajarkannya.
Ketiga, kata para pujangga, yang namanya cinta adalah saling berbagi (sharing each other). Ini berarti, bahwa sebenarnya guru bukanlah segalanya, yang selalu menggurui, tetapi cukup sebagai fasilitator saja. Untuk itu, Guru harus sadar bahwa di dalam diri peserta didik, ada potensi.
Tinggal dipancing saja, lalu kemudian dikembangkan. Apa yang harus dilakukan oleh guru adalah memancing dan mengembangankan potensi yang ada dalam diri peserta didik secara maksimal.
Keempat, dalam cinta, ada yang namanya saling menghargai. Guru harus menghindari agar peserta didik tidak malu dalam sebuah proses pembelajaran. Tentu saja, masih banyak lagi hal yang perlu dilakukan guru untuk menghadirkan cinta di ruang kelas. Misalnya, seorang guru harus mampu memahami masalah atau realitas ruang kelas.
Agar cinta juga tumbuh dan bersemi di ruang kelas, ada hal yang perlu dilakukan pertama sekali saat memulai pelajaran di awal semester oleh seorang guru adalah membangun konsensus bersama. Membuat kontrak belajar secara bersama, setalah melalui sebuah proses identifikasi masalah yang dilakukan secara partisipatif.
Guru bersama siswa saling menggali masalah apa saja yang ada di dalam ruang kelas yang membuat sebuah pembelajaran menjadi gagal atau tidak berhasil. Setelah masalah-masalah itu ditemukan dan dibuat dalam sebuah list, maka langkah selanjutnya adalah mencoba menganalisis bersama terhadap masalah-masalah yang muncul atau yang diekspresikan oleh para peserta didik.
Tatkala mereka menyadari begitu masalah yang mereka hadapi dan mereka telah menganalisisnya secara bersama, maka sejumlah kondisi buruk yang ditemukan di ruang kelas itu, kemudian guru bisa bertanya kepada peserta didik apa yang harus diperbaiki dan harus dilakukan agar kondisi belajar lebih menarik dan kreatif.
Di sini siswa diajak menuju masa depan yang diidamkan. Bisa satu tahun ke depan, bisa dua tahun atau tiga tahun ke depan. Artinya, guru bersama peserta didik membuat visi bersama yang harus dicapai.
Kalau mereka sudah memiliki visi dan misi yang demikian, maka sang guru bisa menyusun rencana strategis selama satu semester atau dua semester dengan menganalisis kebutuhan sumber daya serta strategi untuk mencapai visi, misi dan tujuan yang sudah dibangun bersama.
Bila hal ini sudah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah menjaga cinta itu tetap menyala. Di sinilah mungkin, sosok guru seperti Ryan Reynold atau David Paymer yang digambarkan sebagai guru kreatif dalam film School of Life, diperlukan. Sosok guru yang kritis, kreatif dan inovatif adalah sosok guru yang bisa menghadirkan cinta di ruang kelas.
Begitu mudah sebenarnya bagi guru untuk menghadirkan cinta di ruang kelas. Menghadirkan cinta di ruang kelas adalah sesuatu yang sangat penting. Kata orang,kalau cinta sudah melekat, apapun yang kita suruh, peserta didik akan lalukan. Bahkan peserta didik akan belajar sendiri tanpa harus disuruh dan dipaksa.
Kelas semakin indah bila guru mau membumbui pembelajarannya dengan permainan dan diiringi dengan sikap humoris, berpikiran terbuka, kreatif, inovatif dan yang lain-lain.
Kalau hal-hal semacam ini dimiliki oleh guru, maka jangan pernah takut kalau para peserta didik akan membawa nama guru menjadi popular, karena guru yang seperti ini sering menjadi guru favorit di sebuah sekolah, tanpa harus ada legitimasi sebagai guru berprestasi atau predikat guru teladan. Selamat mencobanya Pasti sukses. Semoga saja.
Penulis Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar